dakwatuna.com - “Alhamdulillah, selama hidup
saya tidak pernah makan sesuatu atau memberikan sesuatu yang dilarang Allah
pada anak saya untuk dimakan. Anak
perempuan saya baik dalam segala hal. Kalian adalah pasangan yang serasi.
Semoga Allah Subhanahu wa ta`ala memberkati kalian dan menganugerahkan kalian
anak yang shaleh. Saya memberikan kebun apel ini sebagai hadiah pernikahan
kalian. Sekarang, pergilah menemui isterimu.”
Kalimat penuntas itu ditujukan kepada seorang lelaki Tsabit bin
Ibrahim, yang tidak lain adalah ayah kandung Imam Abu Hanifah –seorang imam dan
cendekiawan sepanjang masa– ketika masih muda telah menjadi seorang yang sangat
shaleh, jujur dan suka menolong. Ia tidak pernah iri hati pada harta benda
milik orang lain. Ia juga berusaha untuk tidak melanggar hak orang lain.
Siang itu udara panas sekali. Seorang anak muda berjalan
sendiri, di tengah hutan gersang dengan pepohonan yang jarang. Tampak
terseok-seok berjalan. Didera rasa haus dan lapar ia mencoba untuk tetap
meneruskan perjalanan. Ternyata di hutan itu ia menemukan sebuah sungai kecil
berair cukup jernih.
“Alhamdulillah air ini cukup membantu menghilangkan
dahagaku.” Dia
berkata dalam hati seraya membasuh mukanya.
Namun setelah air mengalir membasahi kerongkongannya, perutnya
pun berteriak minta diisi. Sudah dua hari lebih ia belum makan. Sepanjang
melintasi perjalanan tadi, ia belum menemukan makanan apapun. Jangankan hewan
liar, pohon yang berbuah pun tak dijumpainya.
Sambil duduk memandangi sungai, ia merenungi perjalanannya, atau
lebih tepat pengembaraannya. Telah beberapa waktu dilalui hidupnya untuk
mengembara melintasi bumi Allah, sekedar mencari pengalaman hidup dan berguru
pada mereka yang ditemuinya. Tanpa sadar karena lapar dan kantuk yang mulai
menyerang, dilihatnya satu dua benda yang mengapung di sungai kecil itu.
Dipandanginya lebih jelas. Ya, itu adalah buah, seperti buah apel karena merah
warnanya. Bangkit dari duduknya kemudian mencari sebatang dahan kayu untuk
menarik buah itu ke pinggir.
“Alhamdulillah, kalau rezeki tak akan kemana. Bismillahirrahmaanirrahiim….hmm,
lezat sekali apel ini. Serasa masih baru dipetik dari pohonnya.” Gumamnya,
setelah 3-4 gigitan yang telah ditelan, tiba-tiba anak muda itu berhenti
mengunyah apel tersebut.
“Astaghfirullah, buah ini belum diketahui
siapa yang empunya, kok sudah aku makan tanpa seijinnya.” Sejenak kemudian
mengalir air matanya. Terisak ia.
“Buah ini belum halal bagiku. Duhai perutku maafkan diriku yang
telah memberikan sesuatu yang belum jelas kehalalannya padamu.” Terdiam, buah
apel yang sudah separuh dimakan itu kemudian ia pandangi, berpikir mencoba
mengolah isi hatinya. Sebuah sikap langka untuk sekarang ini.
Saat ini kejujuran begitu sulit ditemui. Kejujuran sudah menjadi
barang langka, jangankan untuk mengembalikan atau menghalalkan sepotong apel,
uang triliunan rupiah dibawa kabur sambil tidak ada niat untuk
mengembalikannya. Atau untuk hal-hal “kecil” seperti menggunakan aset kantor
untuk keperluan pribadi, sudahkah kita menghalalkannya?
“Aku harus menemukan sumber dari buah apel ini. Bertemu dengan
pemiliknya dan meminta kepadanya untuk mengikhlaskan satu buah apel ini untuk
menjadi rezekiku.”
Bergegas ia membereskan perbekalannya dan kemudian berjalan
menyusuri sungai kecil itu untuk menemukan sumber buah apel yang dimakannya.
Hingga sampailah ia di sebuah kebun kecil di pinggir sungai yang disusurinya
itu. Tampak ada beberapa ladang dengan beberapa jenis tanaman lain di dekat
situ, juga sebuah gudang kecil. Sejurus kemudian tertahan pandangannya pada
sebuah rumah yang sederhana namun cukup asri yang menunjukkan penghuninya
adalah orang yang rajin merawatnya. Menujulah ia kesana dengan harap-harap
cemas dapat bertemu pemiliknya.
Pemuda Tsabit sesekali membandingkan apel yang ada di tangannya
dengan apel yang ada di sekitar kebun itu. Tsabit yakin apel yang ada di
tangannya itu berasal dari kebun itu.
“Assalamu’alaikum..”
“Wa alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh..”
“Wa alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh..”
Sesosok lelaki paruh baya muncul dari balik pintu.
“Siapakah engkau wahai anak muda?”
“Nama saya Tsabit bin Ibrahim, apakah bapak pemilik rumah ini, juga kebun dan ladang di dekat rumah ini?”
“Betul, sayalah pemiliknya.”
“Apakah kebun apel itu juga milik bapak?”
“Iya, kebun itu milik saya, sekarang sedang berbuah.
“hmm, silakan masuk dan duduk dulu.”
“Siapakah engkau wahai anak muda?”
“Nama saya Tsabit bin Ibrahim, apakah bapak pemilik rumah ini, juga kebun dan ladang di dekat rumah ini?”
“Betul, sayalah pemiliknya.”
“Apakah kebun apel itu juga milik bapak?”
“Iya, kebun itu milik saya, sekarang sedang berbuah.
“hmm, silakan masuk dan duduk dulu.”
“Begini tuan, saya adalah seorang pengembara, ketika sedang
dalam perjalanan, saya menemukan sungai kecil. Disitu kemudian saya temukan
beberapa buah apel yang terapung. Karena lapar yang telah begitu mendera , saya
ambil dan saya makan. Saya baru sadar bahwa buah ini pasti ada yang punya
sebelumnya, hingga kemudian saya mengikuti sungai tadi dan menemukan kebun dan
rumah Tuan” lanjutnya sambil memperlihatkan buah apel yang tinggal separuh.”
“Hmm….”, lelaki pemilik rumah itu bergumam pendek.
“Maafkan saya, sudilah kiranya Tuan yang baik hati untuk mengikhlaskan buah apel ini untukku. Tanpa keikhlasan Tuan, niscaya buah apel ini akan menjadi barang haram yang saya makan, dan saya akan menyesalinya seumur hidup saya. Tak terperi rasanya dalam urat nadi saya mengalir darah yang yang disusupi ketidakhalalan. Bagaimana pertanggungjawaban saya terhadap keturunan saya, darah daging saya kelak??” Pemuda ini kembali menyaput air mata yang menggenang..
“Maafkan saya, sudilah kiranya Tuan yang baik hati untuk mengikhlaskan buah apel ini untukku. Tanpa keikhlasan Tuan, niscaya buah apel ini akan menjadi barang haram yang saya makan, dan saya akan menyesalinya seumur hidup saya. Tak terperi rasanya dalam urat nadi saya mengalir darah yang yang disusupi ketidakhalalan. Bagaimana pertanggungjawaban saya terhadap keturunan saya, darah daging saya kelak??” Pemuda ini kembali menyaput air mata yang menggenang..
Pemilik kebun itu adalah seorang yang alim dan shaleh. Ia tahu,
dalam pandangan agama tidak ada alasan untuk tidak mengizinkan seseorang makan
apel yang ditemukan di pinggir sungai.
Ia merenung, “Saya ingin mengetahui, apakah anak muda ini
benar-benar seorang yang ‘alim, yang takut pada Allah karena telah melakukan
sesuatu yang ia tidak yakin apakah itu benar atau salah. Atau ia hanya seorang
pembual bermuka dua, yang hanya ingin menarik perhatian?” Untuk bisa menjawab
pertanyaan itu, akhirnya pemilik kebun apel memutuskan untuk menguji anak muda
tersebut.
Setelah beberapa saat pemilik kebun apel berkata dengan roman
muka yang masam. “Anak muda, saya tidak bisa begitu mudah memaafkan kamu, saya
punya persyaratan untuk itu.” Tiba-tiba ia mendapat ide untuk menguji anak muda
ini.
“Baiklah, tapi saya mengajukan persyaratan. Untuk apel yang
telah engkau makan, engkau harus membayarnya dengan bekerja di kebunku selama 3
tahun tanpa bayaran. Jadi engkau hanya akan mendapat makanan dan minuman
sehari-hari sebagai upah bekerja itu. Dan untuk itu, engkau boleh menempati
gudang di sebelah itu sebagai tempat bernaungmu.”
Awalnya Tsabit muda bersiteguh untuk membayar apel itu, tetapi
pemilik kebun apel tidak mengizinkannya. Tercekat pemuda itu mendengar ucapan
si orang tua. Lama ia terdiam, kacau, kalut, menimbang-nimbang. Akhirnya,
setelah menghela nafas sambil beristighfar berkali-kali, ia mengangguk. Tidak
ada pilihan lain. Ia harus memperbaiki kesalahannya, agar dimaafkan. Tanpa
berpikir panjang lagi segera ia menyetujui persyaratan yang sulit itu. Selama
tiga tahun ia bekerja untuk pemilik kebun apel itu.
“Tuan, mungkin sudah ditakdirkan oleh Allah, ini sudah menjadi
suratan nasib saya. Kiranya Allah mengetahui apa yang terbaik bagi saya demi
halalnya makanan yang masuk ke dalam tubuh saya ini.”
Akhirnya bekerjalah sang anak muda itu di kebun dan ladang
lelaki tua. Dengan giat dijalani hidupnya di ladang dan kebun tersebut. Seraya
selalu memohon keberkahan dalam lakon hidup yang dijalaninya.
Setelah 3 tahun berjalan, anak muda itu kemudian menemui pemilik
kebun.
“Tuan, hari ini hari terakhir saya bekerja disini. Saya telah menyelesaikan janji saya memenuhi permintaan Tuan.”
“Tuan, hari ini hari terakhir saya bekerja disini. Saya telah menyelesaikan janji saya memenuhi permintaan Tuan.”
Pemilik kebun apel sadar, bahwa anak muda ini, yang sedang
berdiri di hadapannya, adalah orang yang luar biasa. Anak muda ini telah
memikat hatinya dan karenanya ia tidak akan membiarkan anak muda ini pergi
begitu saja.
Pemilik kebun apel sejenak kemudian menjawab, “Tunggu dulu anak
muda, masa 3 tahun sudah engkau jalani, namun saya belum dapat memaafkan.
Persayaratan terakhir adalah engkau harus menikahi putriku semata wayang. Yang
perlu engkau ketahui bahwa ia tidak dapat menggerakkan tangannya, tidak bisa
berjalan, tidak bisa mendengar dan tidak bisa melihat. Seandainya engkau
menerimanya sebagai istri, maka kuikhlaskan buah apel dari kebunku yang engkau
makan waktu itu.”
Jujur saja, menikahi seorang wanita cacat, adalah perkara yang
sulit. Persyaratan ini sangat berat bagi Tsabit. Tapi hidup dengan mengabaikan
suara hati nurani dan ketika kelak meninggal dan akan bertemu dengan Allah,
tentunya lebih berat lagi. Tsabit merenung, begitu aneh perannya dalam
kehidupan yang bisa terjadi, hanya karena menemukan apel yang sedang
menggelinding di tepi sungai, lalu menggigitnya tanpa berpikir panjang. Sambil
memandang tanah dengan wajah pucat pasi Tsabit berkata :
“Duhai, ujian apa lagi ini ya Allah, setiap lelaki tentu
mengharapkan istri yang sempurna, secantik bidadari, bermata jeli dengan riasan
mahkota permaisuri di kepalanya. Tak terbayang betapa berat semua ini.” Pilu
doanya dalam hati.
Namun sebagai. “Ya, saya menyetujui persyaratan Tuan, dengan
begitu sebaiknya Tuan memaafkan saya.” akhirnya lelaki yang teguh memegang
janjinya itu mengangguk. Di dalam setiap ujian, ada hikmah yang semoga dapat
meningkatkan ketakwaannya.
Beberapa hari kemudian, Tsabit menikah dengan anak perempuan si
pemilik kebun apel secara sederhana. Pada malam harinya, Tsabit pergi menuju
kamar pelaminan, dimana mempelai wanita telah menunggunya. Di sana ia melihat
seorang muslimah impian yang cantik jelita, yang tersenyum padanya. Tsabit
merasa takjub dan terheran-heran:
“Ya Allah, saya telah salah masuk kamar.” Tsabit bergegas
meninggalkan kamar dan dalam sekejab ayah wanita itu datang menghampirinya.
“Maaf, saya telah salah masuk kamar.” Tsabit mencoba menjelaskan
dengan wajah tersipu malu.
“Itu bukan kamar yang salah. Ia adalah anak perempuan saya.”
jawab si pemilik kebun apel yang sekarang telah menjadi mertuanya.
“Saya sudah menemuinya. Tapi ia bukanlah anak perempuan seperti
yang Tuan ceritakan pada saya. Ia sama sekali tidak cacat seperti yang Tuan
katakan.”
Mertuanya berkata sambil tersenyum, “Anakku! Anak perempuan saya
lumpuh, karena ia sampai saat ini tidak pernah memasuki tempat hiburan manapun,
ia buta, karena sampai sekarang tidak pernah memandang laki-laki yang tak
dikenalnya, ia juga tuli, karena ia selama ini tak pernah mendengar fitnah dan
hanya mematuhi Al Qur’an dan kata-kata Rasululllah Shalallaahu Alaihi wa
Sallam.”
Subhanallah sungguh keshalihahan seorang muslimah
sejati. Hal Ini
juga sudah langka. Saat ini kita begitu sulit menemukan seorang muslimah yang
“buta, bisu, tuli, dan lumpuh” dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Mungkin
ada, tetapi begitu sulit menemukannya. Mungkin, bagi seorang laki-laki yang
menginginkan muslimah seperti ini, setidaknya harus memiliki kejujuran yang
dimiliki oleh Tsabit.
Karena alasan itulah sang pemilik kebun mempertimbangkan secara
mendalam dan akhirnya mengambil keputusan menyerahkan anak perempuannya kepada
Tsabit, karena dia telah yakin bahwa Tsabit pantas mendapinginya. Karena takut
pada sari apel yang telah masuk ke dalam perutnya, setuju untuk bekerja selama
3 tahun hanya agar kesalahannya dimaafkan.
“Alhamdulillah, selama hidup saya tidak pernah makan sesuatu
atau memberikan sesuatu yang dilarang Allah pada anak saya untuk dimakan. Anak
perempuan saya baik dalam segala hal. Kalian adalah pasangan yang serasi.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta`ala memberkati kalian dan menganugerahkan kalian
anak yang shaleh. Saya memberikan kebun apel ini sebagai hadiah pernikahan
kalian. Sekarang, pergilah menemui isterimu.”
Begitu mendengar kata-kata itu, Tsabit segera melupakan semua
kegundahan di hatinya selama ini dan pergilah ia menuju pasangan hidupnya yang berharga
dan sangat dikasihinya. Dari pernikahan ini lahirlah Imam besar Abu Hanifah,
yang mengajarkan dasar-dasar Mahzab Hanafi.
Tsabit telah memakan setengah buah apel, terus mencari
pemiliknya meskipun harus menempuh perjalanan sehari semalam. Kemudian dia
sanggup untuk menikahi anak pemilik kebun meskipun dikatakan bahwa putrinya
tersebut buta, tuli, bisu, dan lumpuh. Sungguh semua itu dilakukan Tsabit demi
kehalalan sebuah apel. Namun karena ‘kehalalan’ inilah dia beroleh berkah dari
Allah.
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan
mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan
kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan
merugi.” (QS.
Al Fathir:29)